Kesimpulan Jual Beli Dan Hukum-Hukumnya
Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Kesimpulan Artikel Jual Beli dan Hukum-hukumnya
Jual beli adalah menukar harta dengan harta. Menurut ter-minologi ilmu fiqih, artinya: Bentuk usaha penukaran terhadap yang bukan fasilitas atau kenikmatan.
Asal dari jual beli adalah mubah, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak macam, melalui su-dut pandang yang berbeda-beda.
Dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian, jual beli terbagi menjadi beberapa macam: Jual beli bebas, yakni menukar barang dengan uang. Money Changer, yakni menukar uang de-ngan uang. Serta barter, yakni menukar barang dengan barang.
Dilihat dari sisi cara penetapan harga, jual beli dibagi menja-di beberapa macam pula: Pertama, jual beli tawar menawar. Yakni jual beli, yang penjualnya tidak memberitahu harga modal ba-rangnya. Kedua, jual beli amanah. Yakni jual beli, yang penjual-nya menyebutkan harga modal barangnya yang dengan cara itu harga bisa ditetapkan. Ketiga, jual beli lelang. Yakni menjual barang kepada yang memberikan harga tertinggi.
Dilihat dari cara pembayaran, jual beli terbagi menjadi bebe-rapa macam pula: Jual beli dengan penyerahan barang langsung dan pembayaran kontan, disebut jual beli kontan. Lalu jual beli dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, disebut jual beli hutang dengan hutang. Jual beli dengan pembayaran tertunda, disebut jual beli nasi’ah. Serta jual beli dengan penye-rahan barang tertunda, disebut jual beli as-Salm.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus selu-ruhnya dipenuhi agar akad jual belinya menjadi sah. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang jualan dan mengetahui harganya, serta keberadaan barang tersebut yang harus suci, bermanfaat dan bisa diserah-terimakan, serta merupakan milik si penjual ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu.
Jual beli borongan juga diperbolehkan, yakni jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun sesuai dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Mali-kiyah.
Namun menjual komoditi riba fadhal (enam jenis) dengan yang sejenisnya dengan cara borongan tidak diperbolehkan, ka-rena adanya syarat kesamaan ukuran atau takaran dalam barter barang komoditi riba fadhal. Sementara kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal itu adalah: Ketidaktahuan akan kesamaan sama hukumnya dengan mengetahui ketidaksamaan.
Sebab-sebab dilarangnya jual beli ada dua macam: sebab-sebab perjanjiannya dan yang bukan dari perjanjiannya.
Sebab-sebab karena perjanjian di antaranya ada yang ber-kaitan dengan substansi perjanjiannya, seperti tidak terpenuhinya syarat adanya barang yang dijual belikan atau adanya nilai barang tersebut, atau hak kepemilikan penjual terhadap barang itu. Ada juga yang berkaitan dengan komitmen akadnya, karena mengan-dung riba atau manipulasi.
Sementara sebab-sebab yang bukan dari akad jual beli yang dilakukan di antaranya adalah kembali kepada bentuk memper-sulit orang lain, mengganggu atau melakukan penipuan.
Adapun sebab-sebab kerusakan akad jual beli ini ada empat: Diharamkannya barang yang diperjualbelikan, riba, manipulasi dan syarat-syarat yang rusak yang menggiring kepada perbuatan riba, manipulasi atau bahkan kedua-duanya.
Jual Beli yang Diharamkan
Menjual Tanggungan dengan Tanggungan
Tidak dibolehkan menjual tanggungan dengan tanggungan, yakni hutang dengan hutang. Bentuk aplikatifnya ada beberapa macam:
* Menjual pembayaran tertunda dengan pembayaran tertunda. Yakni aplikasi dari satu jenis jual beli “Tangguhkan saja pemba-yaran hutangku kepadamu, nanti akan kutambahkan.” Dan ini adalah bentuk riba yang paling jelas.
* Menjual pembayaran tertunda dengan barang dagangan tertentu yang juga tertunda penyerahannya. Aplikasinya adalah bahwa seseorang menjual kepada orang yang berhutang kepada-nya sebuah barang tertentu yang belum diserahkan dalam sebuah ikatan perjanjian jual beli. Jual beli semacam ini tidak menjadi masalah, karena mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta kepada Jabir, lalu Jabir memberi syarat untuk menyerahkan untanya itu di kota Madinah, dan penyerahan bayarannya juga di kota Madinah.
* Menjual pembayaran tertunda dengan barang yang dijelas-kan kriterianya namun juga diserahkan secara tertunda dalam sebuah akad jual beli. Bentuk aplikasinya, bahwa seseorang mem-beri hutang kepada orang lain. Lalu ia membeli barang dari orang yang berhutang kepadanya itu, yang dijelaskan kriterianya namun diserahkan secara tertunda. Apabila orang yang berhutang itu ingin disegerakan pelunasan hutangnya agar bisa menjadi uang muka untuk membeli barangnya, tidak apa-apa. Tetapi kalau tidak, jual beli tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat didahulukannya pembayaran harga modal.
* Menjual barang yang disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda, dengan barang yang juga disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda juga. Kalau dilakukan seperti jual beli as-Salm maka itu tidak disyariatkan, karena tidak terpenuhinya syarat pembayaran di muka harga modal. Namun kalau dalam bentuk istishna’, tidak menjadi masalah, menurut para ulama yang menja-dikan pemesanan itu sebagai bentuk perjanjian jual beli tersendiri.
Jual Beli dengan Persyaratan
Tidak boleh jual beli dengan syarat. Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan aplikasi bentuk jual beli ini.
Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jual beli bersyarat ini adalah jual beli dengan syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad jual beli. Seperti syarat agar tidak menjual lagi barangnya atau tidak menggunakannya. Atau yang menyebabkan rusaknya harga, seperti syarat peminjaman dari salah satu pihak yang terlibat.
Sementara kalangan Hambaliyah memahami jual beli ber-syarat itu sebagai jual beli yang bertentangan dengan akad –telah dicontohkan sebelumnya– dan bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat. Seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli lain atau peminjaman, karena ada larangan terhadap dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli. Atau persyaratan yang membuat jual beli tergantung, seperti menga-takan: “Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sementara kalangan Hanafiyah memahami jual bersyarat sebagai jual beli yang menetapkan syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu pihak yang terlibat. Seperti menjual rumah dengan syarat untuk dibangun masjid di atasnya. Atau bermanfaat bagi objek perjanjian, seperti menjual seorang budak wanita dengan syarat memerdekakannya.
Syarat manfaat yang dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah di atas masih harus diteliti lagi, berdasarkan hadits Jabir yang men-jual untanya kepada Nabi lalu memberikan persyaratan untuk memanfaatkannya hingga sampai ke kota Madinah.
Dua Perjanjian dalam Satu Transaksi Jual Beli
Tidak boleh melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli, namun masih diperdebatkan bentuk aplikasinya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dengan harga kredit yang lebih mahal. Larangan terhadap jual beli ini masih perlu diselidiki. Bahkan larangan itu tertolak oleh berbagai dalil umum dan juga ketetapan berbagai Majelis Ulama.
Jual beli ‘inah. Yakni menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah dari harga pertama.
Mensyaratkan Transaksi Lain Dalam Perjanjian Jual Beli
Menjual barang dengan penyerahan tertunda. Bila telah datang waktu penyerahan barang, dijual lagi barang itu secara tertunda pula dengan harga lebih mahal. Dalam kondisi demikian, ia harus mengambil harga terendah, yakni harga pertama.
Menjual dalam Proses Transaksi dengan Orang Lain dan Menawar Barang yang Masih Ditawar Orang Lain
Yakni apabila itu dilakukan sebelum selesainya transaksi se-belumnya dan tanpa izin dari penjual pertama. Dan dalam masa-lah tawar menawar yang dilarang ini, dikecualikan yang terjadi dalam jual beli pelelangan, karena ada nash yang membo-lehkannya.
Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun”
Orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun, dalam arti menjadi brokernya/calo, karena dapat membahayakan para penduduk kota dan menyulitkan mereka.
Dilarangnya orang kota menjualkan barang orang dusun ini tentu saja ada syarat-syaratnya: Kebutuhan umumnya masyarakat kepada barang transaksi yang ditawarkan oleh orang dusun tersebut. Ketidaktahuan pedagang dusun itu akan harga barang. Niat pedagang dusun itu untuk menjual barangnya secara lang-sung dengan harga sekarang, meningkatnya harga barang ter-sebut secara bertahap dari harga wajar, dan keberadaan pedagang dusun itu yang mengambil barang untuk dijual, bukan untuk disimpan sendiri.
Menjual Anjing
Tidak boleh menjual anjing berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarangnya. Masih diperselisihkan anjing yang diizinkan seperti anjing penjaga kebun atau anjing buru. Kalangan Malikiyah membolehkannya, namun kalangan madzhab lain melarangnya.
Menjual Alat-alat Musik dan Hiburan
Mayoritas ahli fiqih mengharamkan menjual alat-alat musik dan alat-alat hiburan yang diharamkan. Namun bila ada dalil yang memberi keringanan pada jenis alat tertentu seperti rebana, tidak apa-apa.
Jual Beli Saat Adzan Jum’at Berkumandang
Diharamkan jual beli saat adzan Jum’at berkumandang karena ada dalil yang secara tegas melarangnya. Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan ketika khatib berada di atas mimbar. Tran-saksi usaha selain jual beli bisa diqiyaskan dengannya menurut mayoritas ulama. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, hendaknya ia sudah mengetahui larangan itu serta tidak dalam kondisi darurat untuk melakukannya.
Kalau ada dua orang yang tidak wajib shalat Jum’at mela-kukan transaksi saat adzan berkumandang maka ini tidak apa-apa. Namun kalau salah satunya wajib shalat Jum’at, maka kedua-nya berdosa. Yang satu karena telah melakukan perbuatan terla-rang, sementara yang lain karena menolong orang lain berbuat dosa.
Beberapa Jual Beli yang Masih Diperdebatkan
Penjualan Kredit dengan Harga Lebih Mahal
Dibolehkan memberikan tambahan harga pada harga ter-tunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat para ulama yang ada. Namun jual beli itu hanya sah bila kedua pihak menegaskan mana di antara bentuk penjualan yang dipilih.
Jual Beli ‘Inah
Yakni sejenis jual beli manipulatif agar pinjaman uang diba-yar dengan lebih banyak. Jual beli semacam ini tidak disyariatkan menurut mayoritas ulama demi mencegah terjadinya riba. Namun Imam asy-Syafi’i membolehkannya kalau itu terjadi tanpa dise-pakati sebelumnya.
Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Jual beli ini tidak dibolehkan menurut pendapat para ulama yang paling benar. Karena tujuan sebenarnya dari jual beli ini adalah riba. Yakni dengan cara mem-berikan uang untuk dibayar secara tertunda, dan fasilitas barang itu dijadikan sebagai keuntungan alias bunganya.
Jual Beli Berpanjar
Yakni membeli barang dengan membayarkan sejumlah uang muka kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Namun bila tidak jadi, uang itu menjadi milik penjual.
Jual beli semacam ini boleh menurut pendapat para ulama yang paling benar, kalau diberi batasan waktu menunggu secara tegas dan uang itu akan menjadi bagian dari harga bila jual beli telah dilaksanakan, serta menjadi hak penjual kalau si pembeli tidak jadi membeli barangnya.
Jual Beli Istijrar
Yakni mengambil kebutuhan dari penjual sedikit demi sedikit, kemudian baru selang beberapa waktu membayarnya. Jual beli ini tidak apa-apa menurut pendapat ulama yang paling benar. Bahkan bisa jadi akan lebih menyenangkan pembeli dari-pada jual beli dengan tawar menawar.